1.1 Latar Belakang
Urbanisasi merupakan suatu gejala, peristiwa atau proses yang sifatnya multi-sektoral, baik ditinjau dari sebab maupun dari akibat yang ditimbulkan. Permasalahannya nampak sederhana namun sifatnya sangat kompleks.
Secara teori, urbanisasi memang merupakan isu yang multisektor dan kompleks. Dari aspek demografi, urbanisasi merupakan suatu proses adanya perubahan persebaran penduduk di suatu wilayah. Hal ini menimbulkan dampak adanya kepadatan penduduk, yang berimplikasi kepada masalah-masalah kesehatan. Secara ekonomi, urbanisasi terlihat dari adanya perubahan struktural dalam sektor mata pencaharian. Dalam pengertian sosiologi, terlihat adanya perubahan sikap hidup dari perdesaan menuju sikap hidup orang kota.
Pemerintah Indonesia dalam hal ini telah menanggapi gejala urbanisasi beserta permasalahannya, oleh karena itu beberapa usaha penanggulanganya secara langsung maupun tidak langsung telah dilaksanakan melalui tahap-tahap Repelita
Menurut laporan State of World Population, pada 2008, sekitar 3,3 miliar warga dunia menjadi bagian dalam proses urbanisasi, atau lebih dari separuh penduduk dunia. Angka itu diperkirakan akan menjadi lima miliar pada 2030 berdasarkan perkiraan Badan PBB yang mengurusi kependudukan (UNFPA). Laporan tahunan Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik (UNESCAP) juga menunjukkan, urbanisasi di kawasan Asia Pasifik mencapai tingkat tertinggi di dunia. Khususnya Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Masalah urbanisasi di Asia Pasifik didorong oleh fakta bahwa kemajuan ekonomi umumnya terjadi di kota, sementara aspek pertanian di perdesaan tidak tergarap secara optimal.
Di Indonesia, berdasarkan proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) urbanisasi akan mencapai 68 persen pada 2025. Proyeksi itu mengacu kepada perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan daerah perdesaan (urban rural growth difference/URGD). Dalam data itu terlihat, provinsi di Pulau Jawa dan Bali, tingkat urbanisasinya lebih tinggi dariIndonesia secara total. Bahkan, tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa pada 2025 sudah di atas delapan puluh persen, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten
1.2 Sebab dan Akibat dari Urbanisasi
Sebab-sebab dari adanya urbanisasi ini berbagai negara memang agak berlainan namun secara umum dapat dikatakan adalah karena ketimpangan keruangan ( spatial imbalance ) termasuk di dalamnya ketimpangan penduduk dan ekonomi. Di Indonesia sebab-sebab urbanisasi adalah :
1 Sebagai akibat dari pertambahan penduduk alami di kota.
2 Sebagai akibat dari perpindahan penduduk desa ke kota
3 Berkembangnya daerah tepian kota.
Beberapa pendapat dari pelbagai ilmuwan mengenai sebab dan akibat urbanisasi :
- Dwyer, Singh, dan Suharso mempunyai pendapat yang sama yaitu bahwa sebab dari perpindahan penduduk desa ke kota adalah kekurangan tanah dan rendahnya pendidikan atau motivasi ekonomi.
- Mc Gee berpendapat bahwa migrasi informal dan migrasi formal cendrung menjadi pola urbanisasi di kota-kota Negara berkembang.
Akibat dari urbanisasi dapat dikaitkan dengan dampak lingkungan terutama dampak lingkungan hidup di kota :
- Pertambahan penduduk kota yang begitu cepat, sudah sulit diikuti dengan kemampuan daya dukung kotanya, ruang untuk tempat tinggal,dan kelancaran lalu lintas sudah sangat kurang.
- Pertambahan kendaraan baik roda dua maupun roda empat dapat menimbulkan polusi udara, maupun polusi suara yang dapat membahayakan bagi kehidupan manusia tersebut.
- Pencemaran yang bersifat social dan ekonomi dapat kita lihat seperti banyaknya para gelandangan, pengemis, pelbagai bentuk kenakalan, kejahatan.
Untuk mengatasi dan mengelola pelbagai masalah yang ditimbulkan oleh urbanisasi diperlukan adanya suatu kebijaksaan atau policy terhadap masalah urbanisasi. Usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada khususnya untuk mengatasi masalah urbanisasi yang sudah maupun yang sedang dilaksanakan antara lain :
1 Mempelajari, meneliti, dan melaksanakan pengembangan wilayah di pelbagai tempat.
2 Mengembangkan industri kecil atau industri rumah tangga.
3 Mengatur arus penduduk dari desa ke kota.
4 Melancarkan kegiatan kegiatan keluarga berencana.
5 Pembangunan perumahan rakyat yang murah dan memenuhi syarat.
1.3 Masalah-masalah yang Terjadi di Perkotaan Akibat Urbanisasi
Dampak urbanisasi yang biasanya menjadi perhatian adalah masalah kemiskinan kota. Potret ini umumnya terekam melalui wajah perkotaan, dengan sudut-sudut pemukiman kumuh. Kemiskinan dan kualitas lingkungan yang rendah adalah hal yang mesti dihilangkan, tetapi tidak dengan menggusur masyarakat yang telah bermukim lama di lokasi tersebut. Menggusur hanyalah memindahkan kemiskinan dari lokasi lama ke lokasi baru dan kemiskinan tidak berkurang. Bagi orang yang tergusur, malahan penggusuran ini akan semakin menyulitkan kehidupan mereka karena mesti beradaptasi dengan lokasi permukiman yang baru. Peremajaan kota ini menciptakan kondisi fisik perkotaan yang lebih baik, tetapi sarat dengan masalah sosial. Kemiskinan hanya berpindah saja dan masyarakat miskin yang tergusur semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan karena akses mereka terhadap pekerjaan semakin sulit. Hal ini, dikarenakan sebagian besar kaum urban adalah tenaga tak terdidik yang biasanya menjadi buruh kasar dan memperoleh penghasilan minim. Akibatnya, mereka hanya mampu tinggal di kawasan kumuh dengan segala permasalahannya.
Dampak yang terkait kesehatan adalah masalah air bersih dan sanitasi. Berdasarkan laporan UNESCAP, ternyata dua dari tiap lima penduduk kota tinggal di kawasan kumuh atau sekitar empat puluh persen warga di tiap kota.Indonesia bersama Cina dan Filipina adalah tiga negara yang mengalami penurunan secara signifikan, tingkat ketersediaan air bersih bagi warga kota.
Disamping itu buruknya sistem sanitasi di perkotaan dan merebaknya aliran limbah di sungai-sungai kota memerlukan konsep khusus dan menjadi tantangan bagi pemerintah untuk memikirkan cara tepat penanganan masalah sanitasi. Kondisi air di perkotaan kini sudah sangat memprihatinkan bayangkan, di Jakarta saja ada lebih dari satu juta septic tank. Sekitar 60 persen rumah di Ibu Kota memiliki sumur yang berjarak kurang dari 10 meter dari septic tank. Melimpahnya populasi septic tank yang terus bertambah tanpa adanya regulasi yang baik ini mengakibatkan pencemaran air tanah dan membahayakan puluhan juta penduduknya. Data terkini yang paling memprihatinkan adalah 72,5 juta penduduk Indonesia masih buang air besar (BAB) di luar rumah (Laporan Pemerintah RI ke Millennium Development Goals/MDGs). Angka itu menjadi lebih menyeramkan lagi manakala dikaitkan dengan kenyataan masih sangat rendahnya akses masyarakat ke air minum yang bersih. Dari penelitian yang dikutip Indonesia Sanitation Sector Development Program (ISSDO), 70 persen air tanah di Jakarta ini terkontaminasi tinja atau bakteri lain seperti E.coli. Padahal, separuh lebih pedagang makanan di perkotaan masih mengandalkan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari.
Gambaran kota-kota besar lain di Indonesia tidak jauh berbeda. Dilihat dari akses ke air bersih dan sanitasi yang layak, berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004, hanya 41 persen penduduk perkotaan yang terlayani air bersih lewat perpipaan. Ini tidak mengherankan karena lebih dari separuh (164 dari 318) Perusahaan Air Minum (PAM) atau Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dalam kondisi ”collapse”, dengan beban utang Rp 5,4 triliun. Untuk sanitasi, data Bank Pembangunan Asia tahun 2005 juga memperlihatkan, hanya 69 persen penduduk perkotaan dan 46 persen penduduk pedesaan (atau rata-rata 55,43 persen secara keseluruhan) terlayani fasilitas sanitasi yang layak. Bandingkan dengan Singapura (100 persen), Thailand (96 persen), Filipina (83,06 persen), Malaysia 74,70 persen) dan Myanmar (64,48 persen).
Karena itu, menjadi tidak mengherankan ketika kondisi ini dikaitkan dengan tingginya angka kematian bayi dan prevalensi penyakit yang bersumber dari kondisi sanitasi yang buruk di Indonesia. Angka kematian bayi Indonesia, yakni 50 per 1.000 kelahiran, hidup sekarang ini adalah yang tertinggi kedua di Asia setelah Kamboja. Dari 200.000 anak balita yang meninggal karena diare setiap tahun di Asia, separuh di antaranya adalah di Indonesia.
Kendala yang masih dihadapi sekarang ini berdasarkan Laporan MDGs adalah :
1 Cakupan pembangunan yang sangat besar, sebaran penduduk yang tak merata dan beragamnya wilayah Indonesia, keterbatasan sumber pendanaan. Pemerintah selama ini belum menempatkan perbaikan fasilitas sanitasi sebagai prioritas dalam pembangunan.
2 Kualitas dan kuantitas sumber air baku sendiri terus menurun akibat perubahan tata guna lahan (termasuk hutan) yang mengganggu sistem siklus air. Selain itu, meningkatnya kepadatan dan jumlah penduduk di perkotaan akibat urbanisasi.
3 Masalah kemiskinan juga ikut menjadi penyebab rendahnya kemampuan penduduk mengakses air minum yang layak. Terakhir adalah buruknya kemampuan manajerial operator air minum itu sendiri.
Dari sisi sanitasi, selain masih rendahnya kesadaran penduduk tentang lingkungan, kendala lain untuk terjadinya perbaikan adalah karena belum adanya kebijakan komprehensif yang sifatnya lintas sektoral, rendahnya kualitas bangunan septic tank, dan masih buruknya sistem pembuangan limbah.
Lemahnya visi menyangkut pentingnya sanitasi, terlihat pemerintah belum melihat anggaran untuk perbaikan sanitasi ini sebagai investasi, tetapi mereka masih melihatnya sebagai biaya (cost). Padahal, menurut perhitungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan sejumlah lembaga lain, setiap 1 dollar AS investasi di sanitasi, akan memberikan manfaat ekonomi sebesar 8 dollar AS dalam bentuk peningkatan produktivitas dan waktu, berkurangnya angka kasus penyakit dan kematian.
Selain itu, keberhasilan memperbaiki akses air minum dan sanitasi juga memengaruhi dan terkait dengan pencapaian target MDGs lainnya seperti pengurangan angka kemiskinan, akses ke pendidikan, kesehatan masyarakat, dan kesetaraan gender, dipulihkannya kerusakan lingkungan, dan dikuranginya permukiman kumuh.
Karena itu, yang diperlukan pendekatan menyeluruh (holistik) yang terpadu yang sifatnya lintas sektor, terdesentralisasi dan berbasis masyarakat, dengan melihat keterkaitan antar-aspek tersebut di atas. Di sini peran pemimpin di daerah sangat menentukan karena akhirnya mereka yang harus lebih banyak terlibat langsung.
Tentunya dengan peran kita bersama dapat memberikan penyuluhan dan penyadaran kepada masyarakat, sebagai bentuk kepedulian kita terhadap sesama. Hal ini tentunya dapat dimulai dari lingkungan kita sendiri lalu kemudian kita dapat menggalakkan dalam skala nasional. Dengan demikian persoalan air, utamanya sanitasi di perkotaan dapat kita atasi bersama – sama.
- Kurangnya Lahan Terbuka Hijau di Kota Besar
Tingginya laju urbanisasi juga menyebabkan tingginya permintaan terhadap lahan untuk menampung kegiatan perkotaan termasuk perkantoran, jasa, perdagangan, hotel dan perumahan. Kawasan ruang terbuka hijau merupakan “korban” dari konversi lahan untuk kegiatan perkotaan. Pada tahun 1965, kawasan ruang terbuka hijau mencakup lebih dari 35% dari luas wilayah Jakarta dan jumlah ini terus berkurang, seiring dengan tuntutan ruang akibat laju urbanisasi. Pada saat ini, kawasan ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta adalah sekitar 9.3% dari luas wilayah Jakarta.
Rencana Induk Jakarta 1965-1985 menetapkan luas RTH sebanyak 27,6 persen dari luas total DKI Jakarta. Persentase ini menurun terus pada rencana tata ruang baerikutnya, yaitu Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985-2005 (26.1 persen) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000-2010 (13,9 persen). Penurunan luas RTH dalam ketiga rencana tata ruang kota Jakarta tersebut menunjukkan ketidakmampuan pemerintah DKI Jakarta untuk mempertahankan RTH sebagai komponen penting dalam ruang kota. Hal ini diakibatkan lemahnya penegakan rencana tata ruang dan tingginya permintaan lahan perkotaan untuk mewadahi tingginya laju urbanisasi.
Konversi RTH dan kawasan resapan air menjadi kawasan terbangun seringkali disebut sebagai penyebab terjadinya banjir yang setiap tahun melanda Jakarta. Berkurangnya RTH juga ditengarai yang menyebabkan terjadinya penurunan permukaan tanah (land subsidence) di Jakarta. Jakarta perlu segera membenahi dan mengembalikan RTH, mengingat proporsi RTH di Jakarta saat ini masih jauh dari target RTH menurut RTRW 2010 (13.94 persen) atau bahkan target yang ditetapkan dalam UU Penataan Ruang 26/2007 sebesar 30 persen dari total wilayah.
1.4 Kesimpulan
Sekarang proses urbanisasi di negara sedang berkembang makin cepat , tetapi ini bukan karena daya tarik pekerjaan dikota tetapi karena hidup di desa susah. Tanah-tanah pertanian makin lama makin kecil karena terus dibagi-bagi dari generasi ke generasi sehingga menjadi terlalu kecil dan tidak mampu lagi menunjang kehidupan. Akibatnya, arus manusia ke kota bertambah besar.
Tidak lama lagi, 80 % penduduk kota berpendapatan rendah di negara berkembang, lebih dari separuh penduduk kota didunia, akan terpaksa hidup di kampung kota. Anak-anak dan remaja terpaksa hidup dalam lingkungan yang tidak layak, lingkungan tanpa ruang untuk kehidupan pribadi, hiburan, layanan, atau pendidikan, akan makin banyak. Dunia mereka adalah dunia tanpa semangat hidup, di mana kehangatan, lampu dan kebersihan barang-barang mewah berada diluar jangkauan mereka.
Jadi disini dalam mempelajari masalah urbanisasi ataupun ruralisasi dan masalah perpindahan penduduk jenis yang lain. Desa dan kota harus mendapat perhatian dan penanganan secara berimbang sesuai dengan kondisi, keadaan dan potensi masing-masing wilayah. Dengan demikian, masalah pembangunan wilayah di kota, didesa, dan didaerah tepi dapat berkembang secara berimbang dan serasi