Rinding, Kesenian Yang Disembunyikan Zaman

A. Selayang Pandang

Sebagai masyarakat agraris yang penghidupannya mengandalkan bercocok tanam, budaya dan kesenian yang muncul di Gunungkidul pun tak bisa lepas dari sistem pertanian dan mata pencaharian mereka. Salah satu dari sekian banyak seni tradisi masyarakat Gunungkidul yang terpengaruh budaya agraris adalah Kesenian Rinding Gumbeng. Ditengah lajunya arus globalisasi, Kesenian Rinding Gumbeng tetap bertahan dengan kesederhanaannya.

Kesenian Rinding Gumbeng merupakan salah satu kesenian tradisional yang terdiri dari enam penabuh gumbeng, enam peniup rinding, dan tiga penyanyi perempuan yang biasa disebut dengan istilah penyekar. Rinding dan Gumbeng sendiri merupakan dua jenis alat musik yang terbuat dari bambu. Jika cara memainkan Rinding adalah ditiup, maka Gumbeng adalah alat musik yang ditabuh atau dipukul. Sementara itu, kostum yang dikenakan oleh para pemain Rinding Gumbeng hanyalah baju, dan celana warna hitam dengan ikat kepala dari kain batik. Untuk para penyekar, kostum yang dipakai adalah kebaya khas petani desa dengan kain lurik dan juga caping bambu.

Tidak ada data yang akurat mengenai, kapan kesenian ini mulai dimainkan. Hanya saja banyak warga mempercayai bahwa usia Kesenian rinding Gumbeng ini sudah sangat tua. Penggunaan bambu sebagai bahan utama pembuatan alat musik ditengarai bahwa kesenian ini muncul jauh-jauh hari sebelum masyarakat Gunungkidul mengenal logam dan masih mempercayai Dewi Sri sebagai Dewi Padi.

Pada mulanya, Rinding Gumbeng ini dimainkan seusai masyarakat merayakan panen pertama. Kala itu masyarakat mengarak hasil bumi terbaik sebagai persembahan untuk Dewi Sri dengan diiringi musik Rinding Gumbeng yang meriah. Selain sebagai ucapan syukur atas hasil panen yang telah diperoleh, masyarakat yang masih mempercayai sosok imajiner Dewi Sri sebagai dewi penjaga padi meyakini bahwa bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh alat musik Rinding Gumbeng akan menyenangkan hati Dewi Sri. Ketika Dewi Sri terhibur dan bahagia, maka secara otomatis dia akan memberikan hasil panen yang lebih melimpah pada musim-musim berikutnya.

Tahun-tahun belakangan, Kesenian Rinding Gumbeng yang hanya ditemui di Desa Beji, Ngawen, Gunungkidul sudah mengalami transformasi. Rinding Gumbeng sudah jarang dimainkan dalam pesta panen masyarakat. Meski begitu, kesenian ini masih tetap lestari dan dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Musik Rinding Gumbeng tidak lagi dimainkan dalam pesta panen melainkan dalan Upacara Nyadran Hutan Wonosadi. Selain itu, Rinding Gumbeng juga kerap ditampilkan dalam pentas budaya baik tingkat lokal maupun nasional.

B. Keistimewaan

Selain sebagai kesenian yang mampu menghibur masyarakat, Rinding Gumbeng juga mengandung kearifan sosial mengenai etos kerja rakyat Gunungkidul. Sederhana, ulet, dan dekat dengan alam, merupakan tiga hal yang ingin disampaikan melalui alat musik Rinding Gumbeng. Berbahan dasar bambu dan tidak neko-neko melambangkan kesederhanaan dan kedekatan dengan alam. Bahwa alam pun dapat digunakan untuk menciptakan nada-nada yang indah. Sedangkan ulet digambarkan dengan perlunya latihan khusus untuk mampu membunyikan Rinding. Meski terlihat sederhana, tidak semua orang mampu menghasilkan bunyi saat meniup rinding. Oleh karena itu diperlukan ketekunan dan keseriusan dalam berlatih.

Meski hanya terbuat dari bambu dengan bentuk sederhana, Rinding Gumbeng mampu menyajikan alunan musik yang khas, indah, dinamis, serta ekspresif. Rinding Gumbeng mampu mengiringi berbagai lagu yang dinyanyikan oleh para penyekar. Jika awalnya hanya untuk mengiringi lagu-lagu tradisional saja, saat ini sesuai dengan tuntutan jaman, banyak inovasi yang dilakukan supaya Kesenian Rinding Gumbeng mampu mengiringi aliran musik lainnya. Dengan penambahan berbagai alat ke dalam kelompok kesenian Rinding Gumbeng, maka saat ini Rinding Gumbeng bisa digunakan untuk mengiringi musik dangdut, keroncong, dolanan bocah, hingga campursari. Meski begitu, Rinding Gumbeng tetap mempertahankan karakter tradisionalnya.

Selain terdiri dari kelompok pemain Rinding dan Gumbeng serta penyekar, dalam acara festival atau nyadranan, terkadang pertunjukan Rinding Gumbeng akan diiringi penari. Selain itu, terkadang juga ada sosok wanita cantik yang melambangkan Dewi Sri, sang penjaga padi. Selain menampilkan pertunjukan yang menarik dan atraktif, biasanya para pemain Rinding Gumbeng tak akan segan untuk membagi ilmunya kepada pengunjung yang tertarik untuk mengetahui seluk beluk mengenai Rinding Gumbeng, atau mengajari mereka memainkan alat musik yang terbuat dari bambu tersebut.

C. Lokasi

Wisatawan yang tertarik untuk menyaksikan pertunjukan Rinding Gumbeng dapat berkunjung ke Hutan Wonosadi, Gunungkidul. Setiap tahunnya pada Upacara Nyadran, Rinding Gumbeng selalu menjadi salah satu kesenian rakyat yang dipertunjukkan. Selain itu, Anda dapat mengunjungi Dukuh Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul. Di tempat ini terdapat satu komunitas yang masih bertahan menjaga serta melestarikan kesenian Rinding Gumbeng.

D. Akses

Dukuh Duren terletak sekitar 35 kilometer arah Utara Wonosari. Akses menuju daerah ini sudah baik, jalan yang ada bisa dilalui oleh kendaraan roda dua ataupun roda empat. Bagi wisatawan yang tidak membawa kendaraan pribadi dapat memulai perjalanan dari Terminal Giwangan, Yogyakarta. Anda silahkan naik bus umum jurusan Jogja-Wonosari dan turun di Terminal Wonosari. Setelah itu, silahkan Anda berganti kendaraan dengan naik angkutan umum berwarna hijau yang melayani rute ke Kecamatan Ngawen. Selain menggunakan rute Jogja-Wonosari, wisatawan juga dapat mencapai tempat ini dari arah Klaten, Jawa Tengah.